Aku tidak pernah sedepresi saat ini, mengingat semua kenangan yang dulu pernah kulakukan. Membawaku melesat pergi dari seluruh hidupku. Meninggalkan sekolahku, sahabat-sahabatku di seluruh dunia indahku. Meninggalkan Ronald, cowok pertama sejatiku. Bisa kubilang keadaanku cukup baik. Mengingat aku diseret berkilo-kilo meter dari semua temanku dan sekolahku dan Malang tempatku tinggal sejak aku kecil. Aku tidak sedepresi ini, mengingat aku terperangkap di dalam anak panah beracun berukuran jumbo ini membawaku melesat dari semua yang kucintai. Depresi ? Siapa ? Aku ?
Tapi sebaiknya hidupku tidak menjelma menjadi salah satu buku mengerikan yang selalu kehilangan orang tercintanya. Sehingga aku harus hidup dengan suasana sepi, dengan kesunyian, dan kerinduan akan kasih sayang. Aku suka membaca, tapi aku tak tahan buku-buku seperti itu. Dan aku benar-benar menolak memiliki salah satu kehidupan itu. Hingga aku bahkan tak ingin membaca tentangnya.
Ratna Cintya Sari adalah namaku. Aku cinta kehidupanku, aku cinta Malang dan semuanya yang ada disana. Aku punya teman-teman di sekolah dan dirumah. Sahabat karibku Lena, dia sangat baik. Dia selalu bersamaku, disekolah pun aku duduk disebelah Lena. Kami sudah sangat dekat, dan aku juga sudah menganggapnya saudaraku sendiri. Sekarang aku sudah berada jauh dari Lena dan teman-temanku yang lain. Sekarang aku sedang memandang keluar jendela kamar kota metropolitan tempatku sekarang, kearah ratusan mobil mewah yang berbaris tak rapi. Muncul bayangan di kepalaku. Aku dapat membayangkan semua yang pernah terjadi di masa laluku. Dengan kepala bersandar di jendela, aku mulai menangis.
“ Ratna…” Lena berkata padaku beberapa bulan lalu. “ kamu sudah mengerjakan tugas Matematikamu belum ?” aku tidak suka kalau harus membahas tugas-tugas sekolah. Aku tak ingin merusak masa remajaku yang seharusnya indah, dengan tugas-tugas sekolah yang menyebalkan.
“ Belum Len, “ Jawabku singkat. Aku selalu seperti ini. Aku memang tak pernah perduli dengan sekolahku. Beda sekali dengan Lena, dia sangat rajin dan tekun dalam menyimak semua mata pelajaran.
“selalu deh, kamu ini Rat. Coba kamu rajin mengerjakan PR. Kamu pasti bisa jadi juara kelas. Sebenarnya kamu itu anak yang cerdas. “ Kata Lena dengan sangat membosankan.
“ iyah iyah . . . nanti kalau aku sudah dapat hidayah dari Tuhan, aku bakalan selalu rajin ngerjain tugas-tugas Len. “ Kataku menggoda Lena.
“ yah jangan gitu Rat, kamu ini sesukamu sendiri saja. Kasihan guru-guru yang sudah jadi darah tinggian gara-gara kamu. Coba kamu ubah sikap kamu Rat. Kamu sudah keterlaluan banget ! “ Kata Lena panjang Lebar. Nggak asik nih anak kalau sudah kayak gini. Males banget dengerin Lena. Terkadang aku bisa marah dan sebel banget sama Lena. Dia cerewet banget, nyebelin banget deh.
“ Alah, terserah kamu mau ngomong apa, ini hidup aku Len. Helo… hidup itu enjoy aja kali…” Setelah ngomong begitu aku langsung pergi meninggalkan Lena. Dia hanya diam, dan memandangku tak percaya. Biarin aja, dia nyebelin banget sih.
***
Lima belas menit setelah jam pelajaran pertama dimulai, aku melangkah masuk kelas dengan tenang. Namun, aku melihat semua wajah yang memandangku penuh tanya dan penasaran. Termasuk Pak Rahman yang sedang mengajar. Dia guru Matematika yang mengajar di kelasku. Dia baik tapi cerewet, terkadang dia menyenangkan, terkadang bikin aku naik darah. Pak Rahman sangat pemarah, dan dia juga memiliki penyakit jantung. Sungguh, aku sangat menyayanginya. Tapi terkadang aku sangat membencinya seperti pagi ini.
“ Ratna !” bentaknya padaku. “ Dari mana saja kamu ?” tanyanya dengan geram. Semua teman-teman di kelas memandangku. Mereka diam menyaksikan kemarahan Pak Rahman padaku.
“ Dari kantin Pak. “ Jawabku singkat. Aku menjawab apa adanya pada Pak Rahman. Aku sudah jujur, tapi Pak Rahman jadi semakin marah.
“ kamu tidak tau ini jam berapa ? “
“ Tau Pak ! maaf saya terlambat. “ Kataku dengan enteng, sedikit ada penyesalan.
“ Duduk, ya sudah jangan diulangi lagi.” Kata Pak Rahman mencoba bersabar. Yah memang beruntung aku kali ini. Jarang-jarang Pak Rahman ngelepasin siswa yang terlambat begitu saja tanpa hukuman.
Aku duduk di sebelah Lena seperti biasanya. Lena tidak menegurku. Sepertinya dia masih marah dengan kejadian tadi pagi. Tapi aku nggak merasa bersalah. Jadi, aku biarkan Lena. Aku mulai mengikuti pelajaran Pak Rahman. Sepanjang perjalanan mengikuti pelajaran, aku hanya diam, khidmat tapi tak ada yang nyantol di otakku. Aku berekspresi seakan – akan memahami semuanya. Rencanaku mengecoh kelas kembali lancar. Sampai pada akhirnya, pada jam Pak Rahman yang terakhir, ketika akan istirahat semua buku tugas dan buku catatan dikumpulkan. Aku tidak mencatat sama sekali hari ini. Dan aku tidak membawa buku tugas Matematikaku. Lengkap sudah penderitaan dan hukuman yang akan aku terima.
“ Mana buku tugasmu Rat ?” Tanya Pak Rahman setelah mengecek semua buku tugas teman-temanku.
“ Ehmmm… ketinggalan Pak.” Jawabku pelan.
“ Kenapa buku tugasmu selaluketinggalan sih ?” Tanya Pak Rahman sambil marah-marah. Dia meneruskan “ selama ini kamu tidak pernah mengerjakan tugas, kamu tidak pernah mencatat pelajaran saya.” Kata Pak Rahman panjang lebar.
“ Maaf Pak !” Kataku singkat.
“Maaf, Maaf, Maaf terus saja. Cuma itu yang kamu ucapkan. Saya tidak butuh kata maaf kamu. Nilaimu kosong terus Rat. Kamu tidak pernah menghargai saya. Bahkan ketika saya menerangkan pun, saya tau kamu tidak memperhatikan pelajaran saya.” Pak Rahman benar-benar marah kali. Aku tidak pernah menyangka. Baru kali ini Pak Rahman sangat marah seperti ini. Aku sebel banget, di depan teman-teman sekelasku Pak Rahman malah marah-marah seperti itu. Aku malu sekali, aku jadi terbawa emosi. Aku ikut-ikutan marah pada Pak Rahman.
“ Saya sudah minta maaf kan Pak ? kenapa bapak marah-marah begitu ? yah memang saya tidak pernah mengumpulkan tugas, memang saya jarang memperhatikan ketika bapak menjelaskan pelajaran. Tapi saya tidak seburuk yang bapak pikirkan. Saya masih menghargai bapak. Selama ini saya tidak pernah bolos saat pelajaran bapak, bukan ? saya punya banyak alpha. Tapi tidak pernah alpha pada pelajaran Matematika. Apa bapak tau ? kemarahan bapak yang berlebihan saat ini justru membuat rasa hormat saya hilang pada bapak.” Kataku panjang lebar. Semua teman-teman di kelasku memandang tak percaya. Lena menyiratkan kemarahan pula dari tatapannya padaku. Kenapa semua menyalahkanku ?
Pak Rahman memandangku tak percaya, dia memegangi dadanya. Tubuhnya tampak lemas, dia menarik nafas panjang dan kemudian berkata, “ oh, jadi begitu yah. Saya tidak perduli kamu mau menghargai saya atau tidak. Tapi kasihan sekali orang tuamu yang telah menyekolahkan kamu mahal-mahal. Sementara tingkah laku kamu begini. Kamu tidak menghargai orang tuamu sendiri. Suatu saat kamu pasti akan merasakan hal yang sama seperti saya. Sekarang memang belum, tapi suatu saat nanti kamu akan menyesal Ratna !” Kata Pak Rahman. Suaranya bergetar karena terlalu marahnya. Bisa-bisanya dia ngomong gitu. Nyumpahin orang seenaknya sendiri. Tapi kemarahan dan kesedihan dimata Pak Rahman sangatlah dalam. Aku tak perduli pada saat itu. Egoku sangat besar dan saat aku melihat Pak Rahman, aku ingin sekali mengumpatnya.
“ perduli apa bapak sama saya ? yang bayar sekolah saya juga orang tua saya sendiri. Mereka saja tidak pernah seperti ini pada saya. Bapak itu siapa ? apa bapak mengerti apa yang saya rasakan ? bapak tidak tau bukan tentang saya dan keluarga saya ? jadi, lebih baik bapak diam saja. Jangan ngomongin hal yang bapak sendiri tidak tau. Shit !!!” Kataku seraya pergi meninggalkan kelas yang tegang itu. Aku menangis menuju ke kamar mandi. Setelah itu aku menelpon Ronald, pacarku yang sangat aku sayang. Aku sebenarnya tak ingin melakukan hal tadi di kelas pada Pak Rahman. Tapi tadi, aku melihat Pak Rahman seakan musuh terbesarku. Tapi tak berarti aku sangat membencinya.
Tak beberapa lama kemudian Ronald datang. Dia kelihatan khawatir padaku. Tapi dia juga penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Aku mengajaknya pergi dari sekolah. Aku ingin meninggalkan suasana mencekam yang menyelimuti sekolah ini. Dan Ronald hanya mengiyakan saja permintaan itu, karena dia sudah mengerti suasana hatiku. Kami berdua bolos pada jam ke-5 sampai jam pelajaran terakhir.
***
“ kamu kenapa sih Rat ?” Tanya Ronald setelah hampir 30 menit hanya kudiamkan saja. Rupanya dia sudah tidak sabar mendengar cerita dariku. Aku menceritakan semua kejadian tadi pada Ronald. Dia mengerti dan dia juga agak marah dan kecewa pada sikapku ke Pak Rahman. Tapi itu hanya sebentar, setelah itu dia menenangkanku dan mencoba meredakan tangisku. Yah memang Ronald lah yang paling mengerti perasaanku. Aku beruntung bisa menjadi ceweknya Ronald. Aku sudah sangat menyayanginya.
“yah sudah Rat, jangan kamu ulangi lagi yah. Kalau kamu sudah tidak marah lagi, aku ingin kamu minta maaf pada Pak Rahman.”
“ iya Ron. Aku juga menyesal sudah melakukan hal tadi. Thanks yah Ron, kamu sudah mau menemaniku.” Kataku sembari tersenyum padanya.
“ iyah sayang, sama-sama. Sudah jangan nangis lagi yah !” Ronald tersenyum sambil memegangi tanganku. Aku selalu merasa nyaman saat bersama Ronald. Dia selalu bisa membuatku tenang. Aku tak ingin kehilangan Ronald. Hanya dia yang mampu memberikan kasih sayang padaku seperti seorang ayah, seorang kakak dan seorang kekasih.
***
Seminggu setelah tragedi bersama Pak Rahman kemarin. Hari ini jam pelajaran Pak Rahman lagi. Aku ingin meminta maaf pada Pak Rahman. Tapi hari ini Pak Rahman tidak masuk untuk mengajar. Beliau sakit, Leni yang mengatakannya padaku. Sejak seminggu yang lalu Pak Rahman masuk rumah sakit. Aku terkejut, ternyata hanya aku yang tidak mengerti kalau Pak Rahman dirawat di rumah sakit. Ya Tuhan… betapa jahatnya aku, Pak Rahman adalah guruku sendiri, tetapi aku tidak mengetahui kalau beliau sedang dirawat inap di rumah sakit.
Aku merasa bersalah. Apa mungkin gara-gara kejadian waktu itu Pak Rahman sakit ? apa mungkin gara-gara aku ? kejam sekali aku ini, sungguh berdosa aku telah membuat seorang guruku sendiri terbaring tak berdaya diatas ranjang. Aku dikejar-kejar rasa bersalah dan dosa selama beberapa hari. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Pak Rahman dan meminta maaf pada beliau.
Seminggu kemudian, ternyata Pak Rahman masih tidak masuk untuk mengajar. Aku semakin gelisah, dan akhirnya aku putuskan untuk menjenguk Pak Rahman sepulang sekolah bersama Ronald dan Leni. Aku pergi ke rumah sakit Saiful Anwar untuk menjenguk beliau. Pak Rahman dirawat di kamar mawar lantai 4 paviliun Saiful Anwar. Saat aku melangkahkan kaki memasuki ruangan itu, mataku tertuju pada sosok lemah tak berdaya yang berbaring pucat diatas tempat tidur. Sosok itu tak asing lagi dimataku. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Pak Rahman. Guru Matematika yang setiap hari kamis mengajar di kelasku. Guru laki-laki sabar yang setiap hari kamis memberi senyum maaf padaku. Guru laki-laki tua yang setiap hari dengan penuh semangat mengajar semua siswanya yang nakal. Guru laki-laki pemarah yang setiap hari kamis memarahiku karena kesalahan dan keluputanku. Dan guru laki-laki yang sebenarnya sangat aku sayang. Aku tak pernah menyadari semua itu. Aku memang bodoh. Dan guru itu, sekarang hanya terbaring lemas diatas tempat tidur, masih tetap dengan senyumnya yang indah itu.
Ketika melihat aku datang, Pak Rahman tersenyum kecil. Sedikit kebahagiaan menghiasi wajahnya yang letih, tampak keriput. Benar-benar berbeda dengan Pak Rahman yang biasanya. Sungguh, hatiku teriris melihat senyum tipis lelaki tua ini. Lelaki tua perkasa yang selama ini selalu ku sakiti hati dan perasaannya.
“ Ratna… “ Panggil Pak Rahman lirih. Dia memanggilku dengan tersenyum, Dia bahagia. Oh astaga, ku kira dia akan marah ketika melihatku. Ternyata dugaanku salah. Justru sebaliknya. Dia tersenyum bahagia dan kemudian berkata.
“ aku tau kamu akan datang Rat.”
“ Maafkan saya Pak !” kataku menyesal. “ selama ini saya selalu membuat bapak marah. Saya menyesal Pak. Atas kejadian kemarin saya merasa berdosa, saya malu sama Bapak. Sebenarnya saya tidak ada maksud seperti itu ke bapak. Saya hanya terbawa situasi, saya hanya mengikuti ego saya sendiri. Maaf Pak !!!” kataku sambil duduk disebelah Pak Rahman. Aku tak kuasa menahan air mata yang sudah sedari tadi menunggu gilirannya untuk tumpah, aku menangis. Sementara Ronald dan Leni juga melihatnya. Mereka hanya diam, memberikan aku kesempatan.
“ iyah nduk… bapak mengerti. Bapak juga minta maaf, bapak juga menyesal sudah mengatakan hal seperti itu. Bapak tau, sebenarnya kamu gadis yang baik. Bapak harap kamu bisa jadi lebih baik. Hormati dan hargai orang lain jika kamu ingin dihargai dan dihormati. Mengerti kamu nduk ?” Kata Pak Rahman lembut. Kata-kata Pak Rahman sungguh berbeda dari biasanya. Kali ini sangat menyentuh. Membuat hatiku sesak. Sangat dalam dan membuatku tersadar dari khayalan semu dunia yang selama ini membuatku melupakan segalanya.
“ iya Pak. Saya janji saya akan menjadi siswa idaman semua guru.” Kataku sambil tersenyum. Pak Rahman juga tersenyum. Leni dan Ronald pun juga tersenyum. Kami tersenyum dan tertawa bersama. Saat itu adalah saat yang sangat menyenangkan dan menyedihkan dalam hidupku. Setelah itu, tak beberapa lama kemudian Pak Rahman meninggal dunia. Meninggalkan semua kenangan kami bersamanya. Aku tak kuasa membendung air mata ini. Aku menangis melepaskan kepergiannya. Aku sangat sedih, begitupun dengan teman-temanku yang lain. Kami kehilangan seorang ayah yang sangat kami sayangi. Dan semua itu karena aku. Oh, guruku sayang, kenapa engkau begitu malang ? seandainya aku boleh memutar kembali waktu. Aku tidak akan melakukan hal bodoh itu. Maafkan anakmu ini Pak Guru.
***
Tiba-tiba jam berdenting, aku terkejut. Aku memandang jam dinding kamarku, sudah pukul 12.00 tengah malam. Aku tersadar dari lamunanku. Masa laluku yang begitu indah dan menyedihkan. Sekarang, aku sudah tidak sekolah lagi di Malang. Aku mengikuti orang tuaku di Jakarta. Namun, semua kenangan tentang sekolahku di Malang sangat lekat di dalam sanubariku. Tentang senyum, canda dan tawaku bersama semua teman-temanku. Tentang semua kisah kasihku bersama kekasih hatiku, Ronald. Dan kisah yang tak pernah kulupakan. Tentang kasih tulus seorang guruku. Tentang pelajaran yang diberikannya. Tentang segala yang diajarkannya padaku yang telah mampu membuatku menjadi Ratna sang bintang kelas, Ratna si baik hati dan Ratna yang selalu menghargai orang lain. Semua itu hanya karena satu janji tulusku pada sang lelaki tua perkasa yang tersayang. Tapi… maafkan kesalahan terbesarku. Oh… guruku sayang, guruku malang. Terima kasih atas segalanya. Dan penyesalan terbesarku adalah, telah menyia - nyiakan waktu yang terlewat bersamamu.
Aku selalu teringat oleh satu sajak pesan dari Pak Rahman yang pernah dikatakannya pada awal semester, dan pesan itu begini bunyinya :
Jika hari ini seorang Perdana Menteri berkuasa
Jika hari ini seorang Raja menaiki tahta
Jika hari ini seorang Presiden memerintah sebuah negara
Jika hari ini tiba seorang ulama yang mulia
Jika hari ini seorang peguam menang bicara
Jika hari ini datang seorang penulis terkemuka
Jika hari ini siapa saja menjadi dewasa;
Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa
Dengan lembut sabarnya mengajar tulis-baca.
Selalu teringat olehku semua itu, dan akan selalu teringat.
Aku memandang ke luar jendela. Malam sudah semakin gelap, dan sudah terlalu lelah untuk terus menemaniku. Dan aku melihat bintang dilangit tersenyum padaku. Selalu setia seperti itu, meskipun sepi. Seperti senyuman indah Pak Rahman. Beliau masih tersenyum dilangit. Dan sekarang saatnya aku harus tidur, agar besok aku tidak terlambat sekolah untuk menempuh segala hal baru. Dan menerima suatu kenangan yang baru pula.
TAMAT